Tuesday, March 31, 2015

TUGAS PANCASILA

Tags



                                                                               

EKSISTENSI KOMISI YUDISIAL SEBAGAI LEMBAGA NEGARA

YANG DILAHIRKAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

DISUSUN

KELOMPOK 4

ADE AYU FENISA

AFDHAL HELMANSYAH BAKAR

AHMAD MULYA

ARI GUNAWAN

FAHRIANDA YUNASMI

MAISYAROH HUTAGALUNG

RINO OKTARIAL

MAHASISWA JURUSAN TEKNIK INDUSTRI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2014/2015

KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami ucapkan Kehadirat Allah,  Tuhan semesta alam. Yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya kepada kami semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, hingga makalah ini dapat kami selesaikan dengan sebaik mungkin.

             Shalawat beriring salam senantiasa kami curahkan kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW. Yang telah membawa dan menyelamatkan kita semua dari alam yang penuh kegelapan dan penuh kebodohan ke alam yang terang benderang dan penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan sekarang ini.

            Akhirnya kami menyadari, dalam makalah ini maasih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat.

Amin ya robbal ‘alamin          

 Pekanbaru, 25 November 2014

                                                                                                               Kelompok 4

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1.1  Latar Belakang.................................................................................................................1

1.2  Rumusan Masalah............................................................................................................2

1.3  Tujuan Penulisan.............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2

     2.1 Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial...........................................................................3

     2.2  Dasar Hukum..................................................................................................................3

     2.3  Tujuan Pembentukan......................................................................................................4

     2.4  Wewenang dan Tugas....................................................................................................6

BAB III PENUTUP...................................................................................................................8

     3.1  Kesimpulan.....................................................................................................................8

     3.2  Saran...............................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG

Sejak reformasi terjadi tahun 1998 yang berakibat berakhirnya masa pemerintahan orde baru, mulailah terjadi perubahan (Amandemen) konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945  sebanyak empat kali. Perubahan tersebut berimplikasi terhadap perubahan ketatanegaraan sekaligus susunan kelembagaan Negara Indonesia. salah satu dampak langsung perubahannya adalah perubahan supremasi MPR menjadi supermasi Konstitusi. Susunan kelembagaan Negara Indonesia tidak lagi mengenal istilah “lembaga tertinggi Negara” untuk kedudukan MPR sehingga terjadi kesejajaran kedudukan dengan lembaga sejenis demi menciptakan system check and balances.

Telah dikenal adanya 3 fungsi kekuasaan klasik yaitu fungsi legislative, eksekutif, dan yudikatif oleh Baron de Montesquieu (1689-1785). Teori tersebut disebut juga teori Trias Politica yang menghendaki adanya pemisahan kekuasaan antara satu lembaga dengan lembaga Negara yang lain. Satu lembaga Negara tidak boleh mencampuri kekuasaan lembaga Negara yang lain.

Konsepsi Trias Politica tersebut dewasa ini sudah tidak relevan lagi karena tidak mungkin ketiga lembaga tersebut hanya melaksanakan satu fungsi tanpa boleh mencampuri fungsi lembaga lain. System check and balances dalam konsep tersebut tidak ditemukan. Padahal idealnya lembaga-lembaga Negara memiliki kedudukan yang sejajar satu dan lain dan berhubungan saling mengawasi sesuai dengan prinsip check and balances.

Seiring perkembangan masyarakat modern yang sedang berkembang dari segi sosial, ekonomi, politik, dan budaya dengan berbagai pengaruh globalisme menuntut adanya system kenegaraan yang efisien dan efektif dalam memenuhi pelayanan publik. Atas faktor tersebut muncullah berbagai lembaga-lembaga Negara sebagai eksperimentasi kelembagaan yang dapat berupa dewan (council), komite (committee), komisi (commission), badan (board), atau otorita (authority).

Lahirnya lembaga-lembaga baru tersebut di sebut dengan lembaga penunjang (auxiliary institution). Lembaga-lembaga ini memiliki fungsi layaknya lembaga Negara yang utama, ada lembaga yang memiliki fungsi regulasi, fungsi administrative, dan fungsi penghukuman.

1

Eksperimentasi terhadap lembaga-lembaga baru juga sedang dilakukan oleh Negara Indonesia. Dimulai pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto (1998) yang dikenal dengan era reformasi dilakukanlah perubahan konstitusi UUD 1945 selama 4 tahun (1999-2002). dalam perubahan tersebutlah terjadi pembentukan dan pembaharuan lembaga Negara. Dari 34 lembaga Negara, terdapat 28 lembaga Negara yang kewenangannya dijelaskan secara umum maupun secara rinci dalam UUD 1945. ke-28 lembaga Negara inilah yang disebut memiliki kewenangan konstitusional yang disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945.

Dari 34 lembaga Negara ini dapat dibedakan menjadi dua segi, segi hierarki dan segi fungsinya. Kriteria segi hierarkinya dapat di tentukan dengan 2 kriteria; (i) kriteria bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya, (ii) kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam system kekuasaan Negara. Kriteria dari segi fungsinya ada yang bersifat utama (primer), dan penunjang (auxiliary). Dalam segi Hierarkisnya ke-34 lembaga Negara tersebut dibagi dalam tiga lapis. Organ lapis pertama biasa dikenal dengan lembaga tinggi Negara, organ lapis kedua dikenal dengan lembaga Negara saja, sedangkan organ lapis ketiga dikenal dengan lembaga daerah. diantara lembaga-lembaga tersebut ada yang dikategorikan sebagai lembaga primer dan lembaga penunjang.

Keseluruhan dari lembaga Negara tersebut merupakan bagian dari Negara sebagai suatu organisasi. Konsekuensinya, masing-masing memiliki fungsi tertentu dan saling berhubungan sehingga memerlukan pemahaman dan pengaturan yang dapat mengatur agar berjalan dalam satu system yang tepat.

1.2  RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimanakah eksistensi komisi yudisial sebagai lembaga negara yang dilahirkan setelah amandemen UUD 1945.

2.      Bagaimanakah tugas, fungsi, dan wewenang komisi yudisial sebagai sebuah lembaga negara yang dilahirkan setelah amandemen UUD1945.

1.3  TUJUAN PENULISAN

1.      Mengetahui eksistensi komisi yudisial sebagai lembaga negara yang dilahirkan setelah amandemen UUD 1945.

2.      Mengetahui tugas, fungsi, dan wewenang komisi yudisial sebagai sebuah lembaga negara yang dilahirkan setelah amandemen UUD1945.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1  SEJARAH PEMBENTUKAN KOMISI YUDISIAL

            Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
            Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai.
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
            Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005, ketujuh anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya.
2.2  DASAR HUKUM

1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

*    Pasal 24A ayat (3):Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.

*    Pasal 24B:

1.      Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,serta perilaku hakim.

2.      Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.

3.      Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

4.      Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.

2.      Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.

3.      Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

4.      Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Hakim.

5.      Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

6.      Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

7.      Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

8.      Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
2.3  TUJUAN PEMBENTUKAN

Tujuan dibentuknya Komisi Yudisial Republik Indonesia adalah:

    Mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang mandiri  untuk menegakkan hukum dan keadilan.
    Meningkatkan integritas, kapasitas, dan profesionalitas hakim sesuai dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam menjalankan kewenangan dan tugasnya.

4

Sementara menurut A. Ahsin Thohari dalam bukunya Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), di bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal sebagai berikut[4]:

    Lemahnya pengawasan secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena pengawasan hanya dilakukan secara internal saja.
    Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) –dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman (judicial power).
    Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum.
    Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
    Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.

Sedangkan tujuan pembentukan Komisi Yudisial menurut A. Ahsin Thohari adalah :

    Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal dikhawatirkanmenimbulkan semangat korps (l’esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan.
    Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya.

5

    Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu perkara.
    Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.
    Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim yang ada.

2.4  WEWENANG DAN TUGAS
2.4.1  Wewenang

Sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai wewenang:

    Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
    Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
    Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
    Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

2.4.2  Tugas

Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, maka Komisi Yudisial mempunyai tugas:

    Melakukan pendaftaran calon hakim agung;
    Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;
    Menetapkan calon hakim agung; dan
    Mengajukan calon hakim agung ke DPR.

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 mengatur bahwa:

    Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
        Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;
        Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
        Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;
        Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,
        Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
    Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim;
    Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim.
    Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

BAB III

PENUTUP

3.1  KESIMPULAN

            Sebagai sebuah lembaga negara yang dilahirkan setelah amandemen UUD 1945, komisi yudisial

9


EmoticonEmoticon